CONTOH CERPEN
Kaca
yang Retak takkan Mulus Lagi
Hujan rintik – rintik dipagi ini
membasahi kota metropilotan. Terdapat seorang gadis yang berlari dengan
tergopoh – gopoh menuju gerbang yang hampir ditutup oleh satpam. Senyuman cerah
dan ucapan terima kasih ia berikan kepada satpam tersebut. Sampai di koridor,
ia lipat payung miliknya dan terdengar bel berbunyi tanda bahwa jam pelajaran
akan dimulai. Gadis itu tersenyum karena itu tandanya ia tidak terlambat.
Kemudian ia menuju ke kelasnya, XI Mipa 1. Tanpa ia sadari, ada seseorang yang
memperhatikan dari jauh. Orang tersebut ikut tersenyum saat melihat senyuman
manis dari gadis itu.
Gadis itu masuk ke dalam kelas
dengan senyum lebar. Entah kenapa hari ini ia merasa senang. Senyumnya tambah
lebar ketika sahabatnya menyapanya. Ia menoleh saat salah satu temannya
memanggil namanya, Reya. Temannya bertanya apakah Reya sudah tahu kalau hari
ini aka nada anak baru di sekolah ini. Reya mengernyitkan dahinya bingung dan
menjawab bahwa ia tidak tahu berita itu. Kemudian temannya memberi tahu lagi
kalau anak baru itu katanya dulu teman Reya. Bu Sifa, guru matematika masuk ke
kelas, menghentikan perbincangan mereka. Reya semakin mengernyitkan dahinya,
menandakan bahwa ia sedang berpikir.
Terlalu sibuk dengan pikirannya,
Reya tidak sadar kalau Bu Sifa masuk ke kelas tidak sendiri. Lamunannya pecah
saat mendengar suara bisk – bisik dari teman – temannya. Terdengar bermacam –
macam kata dari teman – temannya. Ada yang mengatakan ganteng, manis, tinggi,
lumayanlah, dan berbagai kata pujian lainnya. Karena penasaran, Reya melihat ke
depan kelas. Ketika melihat ke depan, pupil matanya melebar dan mulutnya
menganga tidak percaya. Ia tambah terkejut ketika laki – laki itu dengan terang
– terangan menatapnya dan tersenyum manis. Rasanya rahang Reya seakan jatuh ke
bawah karena terlalu lebar dibuka saking terkejutnya.
Meta, teman sebangkunya merasa ada
kejanggalan dengan ekspresi Reya. Kemudian ia bertanya apakah Reya baik – baik
saja. Reya hanya menjawab dengan gelengan lemah. Meta hanya menganggukkan
kepalanya, walaupun ia masih penasaran dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya.
Bu Sifa memperkenalkan aanak baru itu, namanya Gibran, ia pindahan dari
Semarang. Siswa yang lain merasa senang dengan kehadiran Gibran, karena kata Bu
Sifa Gibran merupakan anak yang pandai selain itu karena ia tampan. Tapi hal
itu tidak berlaku bagi Reya, jujur ia merasa terbebani dengan kehadiran Gibran.
Ia hanya bisa berdoa dalam hati, semoga hari – harinya akan baik – baik saja
seperti saat Gibran tidak hadir dalm hidupnya setelah kejadian itu.
Saat istirahat di kantin, Meta
memperhatikan Reya yang duduk di hadapannya sedang mengaduk – duk makanannya.
Meta mengernyitkan dahinya melihat makanan Reya yang sudah tidak karuan
bentuknya. Reya tidak biasanya seperti ini. Ia merupakan gadis yang ceria,
murah senyum, ramah, kadang malah seperti anak alay yang kalau ketawa gak kira
– kira. Ini bukan seperti Reya yang Meta kenal. Dari pagi adanya cuma melamun
dan raut sedih yang ia tunjukkan. Tapi tunggu, tadi pagi saat sampai di kelas
gadis itu masih tersenyum lebar sebelum anak baru itu datang. Anak baru?
Gibran? Apa Reya menjadi seperti ini karena Gibran? Tanya Meta dalam hati. Tapi
apa hubungannya Reya dengan anak baru itu? Lanjut Meta dalam hati. Daripada
berpikir yang tidak – tidak, Meta memutuskan untuk bertanya kepada Reya
langsung. Awalnya Reya tidak mau menjawab dan berbohong, tapi Meta yang tak
puas dengan jawaban sahabatnya, terus memaksa Reya untuk memberitahu yang
sebenarnya. Karena sifat Meta yang pantang menyerah, akhirnya ia luluh. Ia akan
menceritakan semunya tapi dengan satu syrat, Meta tidak boleh memberi tahu
siapapun. Setelah mereka berjanji, cerita demi cerita mengalun mulus dari bibir
tipis Reya. Setelah mendengar cerita Reya, ekspresi yang ditunjukkan Meta sama
persis seperti ekspresinya saat pertama kali melihat Gibran tadi. Mau tak mau
Reya menahan tawanya. Meta masih tak percaya dengan ucapan Reya, bahwa dulu
Reya dan Gibran pernah menjadi sepasang kekasih.
Saat mereka berdua sedang asik
bercengkrama, tiba – tiba ada seseorang yang duduk di samping Reya.
Perbincangan dua gadis itu terhenti dan menatap orang tersebut dengan bingung.
Orang itu berkata bahwa ia ingin bergabung dengan dua gadis itu. Meta hanya
tersenyum canggung, sedangkan Reya langsung berdiri dan meninggalkan Meta dan
orang itu, Gibran. Meta mengucapkan maaf dan tersenyum canggung kepada Gibran,
kemudian menyusul Reya. Sampai di kelas, Reya langsung menelungkupkan wajahnya
di meja bangkunya. Entah kenapa ia tidak suka dengan kehadiran Gibran dalam
hidupnya lagi. Bukan lain lagi, penyebab itu semua karena masa lalu. Dulu saat
mereka menjadi sepasang kekasih, ternyata Gibran menghianatinya. Gibran
menjalin hubungan dengan gadis lain. Bodohnya lagi gadis itu teman satu kelas
Reya dan ia tidak tahu kalau hubungan mereka sudah berjalan 4 bulan. Ia merasa
sangat dihianati oleh pacar maupun temannya sendiri. Selain mantan pacar,
Gibran juga merupakan teman masa kecil Reya. Tanpa sadar air matanya jatuh
mengingat hal itu, terdengar isakan kecil dari mulutnya. Meta yang sudah ada di
sampingnya terkejut dan mencoba untuk menenangkannya.
Tidak terasa, enam bulan sudah
terlewati. Gibran masih pantang menyerah untuk mendekati Reya. Namun gadis itu
masih selalu menghindarinya, bahkan Reya menganggap bahwa Gibran tak kasat
mata. Diam – diam Meta selalu membantu Gibran untuk mendekati Reya lagi. Meta
sudah mendengar ceritanya dari Gibran. Walaupun awalnya ia kecewa dengan Gibran
yang menghianati sahabatnya, tapi ia melihat ketulusan Gibran bahwa ia sangat
menyesal dan ingin minta maaf kepada Reya. Sebenarnya Reya juga bingung dengan
perasaannya. Di satu sisi ia masih sakit hati dengan Gibran dan di satu sisi ia
merindukan sosok teman kecilnya. Ia juga sebenarnya tahu kalau Meta membantu
Gibran untuk mendekatinya lagi, tapi ia hanya diam saja karena menurutnya Meta
orang yang baik, dengan baik hatinya mau membantu Gibran walaupun sering
ditolak dan diacuhkan oleh Reya.
Hari ini merupakan pagi yang cerah,
sangat mendukung untuk melakukan berbagai ativitas, apalagi ini hari Minggu.
Seperti yang akan dilakukan seorang gadis cantik berambut panjang ini, Reya. Ia
berencana akan mengunjungi suatu tempat yang menyimpan banyak kenangan
untuknya. Sudah lama ia tidak ke tempat itu. Kalau saja ini bukan permintaan
atau lebih tepatnya paksaan dari sahabat cantiknya yang penuh semangat dan
cerewet itu, ia tidak akan ke sana. Karena tempatnya yang lumayan jauh, ia
menggunakan transportasi bus umum. Semkin dekat dengan tujuannya, semakin cepat
pula debaran jantungnya. Sesampainya di sana, ia tidak menemukan sahabatnya. Ia
memutuskan untuk menunggu dengan duduk di bangku panjang yang terletak di bawah
pohon yang rindang. Udaranya sangat sejuk. Gadis itu menengadahkan kepala dan
memejamkan matanya, menikmati udar segar pagi ini. Kenangan – kenangan tentang
tempat ini mulai menghampirinya. Saat – saat indah ketika ia selalu
menghabiskan waktu di tempat ini bersama dengan teman kecilnya. Tanpa sadar,
senyum manis mulai mengembang dari bibir tipisnya. Ia merasakan akan kehadiran
sosok itu yang selalu mengajaknya untuk bermain di tempat ini. Kenangan konyol
muncul di kepalanya, yang membuat senyumnya tambah lebar, yaitu ketika ia
menangis karena mengompol saat bermain. Tidak seperti teman – teman lain, yang
mengejeknya, sosok itu malah menenangkannya dan mengantarkannya pulang.
Senyumnya langsung lenyap ketika sebuah
suara menyapanya, berasal dari sampingnya. Ia sangat kenal dengan suara itu,
suara milik sosok yang sedang ia pikirkan. Ia kira ini hanya halusinasinya
saja, tapi ini nyata ketika suara itu terdengar lagi. Perlahan ia membuka
matanya dan betapa terkejutnya ketika ia menoleh ke samping, sosok itu muncul.
Ia alihkan pandangannya ke arah lain karena canggung. Entah kenapa di lubuk
hatinya, ia senang akan kehadiran sosok itu. Reya baru sadar kalau ia sudah
lama menunggu Meta di sini. Ia memutuskan untuk menghubungi Meta, wajahnya
langsung murung ketika sahabatnya itu mengatakan bahwa ia tidak bisa datang
karena ada urusan mendadak. Setelah sambungan terputus, suasana heninglah yang
tercipta. Gibran, sosok tersebut, yang tak suka dengan suasana canggung ini
memulai pembicaraan. Reya hanya menjawab apa adanya, karena ia benar – benar
merasa canggung. Padahal mereka sudah satu kelas selam 6 bulan ini.
Obrolan demi obrolan meluncur halus dari bibir masing
– masing. Lama kelamaan rasa canggung itu mulai menguar. Kebanyakan obrolan
mereka tentang masa kecil. Sesekali mereka tertawa ketika menceritakan kenangan
konyol mereka dulu. Dari obrolan itu pula, Reya sadar kalau ini semua rencana
sahabat cantiknya, Meta untuk mempertemukan ia dengan Gibran di tempat ini.
Saat suasana canggung benar – benar sudah hilang, Gibran memulai mengutarakan
tujuannya. Ia meminta maaf kepada Reya. Dan kalau diperbolehkan, ia ingin
meminta kesempatan kedua untuk menjadi kekasih Reya lagi. Ia sangat menyesal
dengan apa yang telah ia lakukan kepda Reya. Kenapa dulu ia sangat bodoh dengan
menyia – nyiakan gadis sebaik Reya. Reya terdiam lama memikirkan hal itu.
Gibran terus meyakinkan Reya dan berjanji tidak akan menyakiti Reya lagi. Ia
dilemma dengan perasaannya. Hati kecilnya menyuruh ia untuk memaafkan Gibran.
Ia hanya takut jatuh di lubang yang sama. Lama ia berpikir, terlihat ketulusan
pada wajah Gibran. Akhirnya Reya memaafkan Gibran. Tetapi untuk menjadi
kekasih, Reya tidak bisa, cukup teman saja. Walaupun sedikit kecewa, tapi tak
apa, daripada rasa bersalah selalu menghantuinya. Ia sangat berterimakasih
kepada Reya yang dengan baik hati mau menerimanya menjadi temannya lagi.
Meskipun tak akan sedekat dulu, tapi bia tetap bersyukur.
Walaupun sekarang bahagiamu bukan
karenaku lagi,
tapi aku tetap bahagia melihatmu
bahagia karena orang lain.
Dan selalu ingatlah satu hal.
Di mataku, kau mempunyai sesuatu
yang tak dimiliki oleh orang lain, hatiku.
~ Gibran
Komentar
Posting Komentar